Investigasitimes.com, Koltim – Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) kembali diguncang isu panas terkait aktivitas pertambangan.
Sebuah gerakan eksplorasi tambang yang dilakukan di wilayah Desa Taore, Kecamatan Aere, sontak menggegerkan masyarakat.
Aktivitas ini diketahui berada di area Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Toshida Indonesia, sebuah perusahaan yang belakangan kerap menjadi sorotan publik terkait operasional tambangnya di Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan hasil penelusuran Pemerintah Daerah (Pemda) Koltim, kegiatan pertambangan yang berlangsung di lokasi tersebut telah mencakup puluhan hektar lahan.
Tak hanya itu, material hasil tambang dari wilayah Koltim ternyata ditampung di wilayah Kabupaten Kolaka, tak jauh dari perbatasan kedua kabupaten tersebut.
Hingga kini, belum dapat dipastikan apakah kegiatan tambang tersebut dilakukan secara langsung oleh PT Toshida Indonesia atau melalui Kerja Sama Operasional (KSO) dengan pihak ketiga.
Namun indikasi kuat menunjukkan adanya keterlibatan pihak lain dalam proses penambangan dan pengangkutan material tersebut.
Pemerintah Daerah Koltim diminta agar segera mengambil sikap tegas, menghentikan aktivitas pertambangan yang terjadi di desa Taore. Sebab sangat merugikan daerah dan masyarakat.
Jika tidak segera direspon dengan langkah konkret, bukan tidak mungkin persoalan tambang di Koltim akan menjadi ‘bom waktu’ yang merusak tatanan lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat di Wonua Sorume tersebut.
Luas IUP PT Toshida Indonesia Capai 5.000 Hektar
Berdasarkan data dari Google Maps Minerba Indonesia bahwa IUP PT Toshida Indonesia tercatat memiliki luas sekitar 5.000 hektar.
Wilayah konsesinya terbagi dalam tiga kecamatan, yaitu Tanggetada dan Watubangga (Kabupaten Kolaka) serta Kecamatan Lambandia (Kabupaten Kolaka Timur).
Meski demikian, hingga kini belum ada penjelasan lebih rinci mengenai berapa luas lahan di wilayah Koltim yang masuk dalam area izin tersebut.
IUP PT Toshida Indonesia sendiri dikeluarkan pada 10 Oktober 2007 dan sempat berakhir pada tahun 2010. Kemudian diperpanjang kembali hingga 10 Oktober 2027. Artinya, perusahaan ini masih memiliki izin aktif untuk beroperasi hingga tiga tahun ke depan.
Perusahaan ini juga memperoleh persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) sejak tahun 2024 hingga tahun 2026 dari Kementerian ESDM dengan target produksi bijih nikel mencapai 1,1 juta ton pada tahun 2024, dan 1,65 juta ton pada tahun 2025, serta 2,05 juta ton pada tahun 2026.
Nama PT Toshida Indonesia beberapa kali telah menjadi sorotan publik di Sulawesi Tenggara.
Perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Kabupaten Kolaka dan pula memiliki konsesi hingga Kabupaten Kolaka Timur ini, berulang kali terseret dalam persoalan, mulai dari dugaan penjualan ore nikel secara ilegal hingga pada dinamika sosial yang cukup kompleks.
Dikutip dari sebuah media online, pada tahun 2025, PT Toshida Indonesia dilaporkan ke Mabes Polri oleh massa aksi Pergerakan Mahasiswa Nusantara (Pantara) dan Koalisi Aktivis Nasional Indonesia (Kasindo).
Mereka menuding perusahaan tersebut terlibat dalam praktik penjualan dan pembelian ore nikel ilegal.
Koordinator aksi, Adit Saputra menyebut, PT Toshida diduga membeli dan menjual nikel dari luar wilayah IUP miliknya dengan menggunakan dokumen terbang (dokter).
Massa ketika itu mendesak Bareskrim Polri dan Dirjen Minerba untuk melakukan investigasi dan inspeksi mendadak atas aktivitas tersebut.
Menurut para aktivis, praktik semacam ini bukan hanya melanggar regulasi pertambangan, tetapi juga berpotensi merugikan negara dan mencoreng industri pertambangan nasional.
Selain itu, PT Toshida Indonesia juga disorot karena tidak menyalurkan Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang.
Sebuah media online memberitakan, Kepala Desa Sopura, Sundu Bao, menyebut bahwa meski perusahaan telah mengantongi RKAB dari Kementerian ESDM sejak tahun 2024, namun tak ada realisasi nyata PPM di desanya hingga memasuki pertengahan tahun 2025.
Sejalan dengan itu, Wakil Ketua DPRD Kolaka, Syaifullah Khalik juga menegaskan bahwa perusahaan tambang tidak boleh mengabaikan tanggung jawab sosialnya. Dan, Ia mendesak agar pemerintah memberi sanksi tegas terhadap PT Toshida.
Pihak perusahaan melalui General Manager, Umar membantah tudingan tersebut.
Dia menyebut PT Toshida tetap menjalankan PPM secara bertahap dengan penyaluran bantuan sembako, Al-Qur’an, dan dukungan sosial di beberapa desa.
Sebagaimana diketahui, dalam RKAB, PT Toshida berkomitmen menyalurkan dana PPM sebesar Rp.2,56 miliar di tahun 2024, Rp.3,18 miliar pada tahun 2025, serta Rp 3,95 miliar untuk tahun 2026.
Sasarannya adalah sejumlah desa lingkar tambang seperti Sopura, Popalia, Pewisoa Jaya (Kabupaten Kolaka), dan Desa Taore, Kolaka Timur.
Disisi lain, belum lama ini, tepatnya di awal Oktober 2025, nama PT Toshida Indonesia kembali mendengung setelah tim Satuan Tugas (Satgas) Penegakan Hukum (PKH) melakukan penertiban di Kabupaten Kolaka. Pada Rabu, 1 Oktober 2025, Satgas Halilintar berhasil menciduk rekan kerja PT Toshida yakni PT Jaya Bersama Sahabat (JBS) yang diduga melakukan penambangan di kawasan hutan lindung.
PT JBS diketahui merupakan mitra KSO PT Toshida Indonesia yang selama ini turut melakukan kegiatan pertambangan di bawah izin perusahaan induk.
Dari hasil operasi tersebut, satu unit alat berat excavator berhasil diamankan oleh tim Satgas.
Aksi tegas ini dilakukan karena PT JBS kedapatan memindahkan ore nikel dari kawasan hutan ke Area Penggunaan Lain (APL). Sebuah tindakan yang jelas melanggar ketentuan hukum dan aturan lingkungan hidup. Parahnya lagi, aktivitas tersebut dilakukan di kawasan yang telah terpasang plang pelarangan dari Satgas PKH.
Dan terbaru, muncul temuan aktivitas pertambangan di Desa Taore, Kecamatan Aere, Koltim yang disebut berada dalam area IUP PT Toshida Indonesia. Puluhan hektar telah digarap dan hasil materialnya ditampung di wilayah Kolaka.
Parahnya lagi, kegiatan pertambangan itu tanpa diketahui Pemda Koltim. Sangat merugikan daerah baik dari sisi Dana Bagi Hasil (DBH), maupun terhadap pajak daerah yang menjadi hak pemerintah setempat.
Rangkaian persoalan ini menunjukkan bahwa kiprah PT Toshida Indonesia di Kolaka dan Kolaka Timur menyisakan banyak tanda tanya besar. Dari dugaan praktik ilegal sampai dengan minimnya realisasi tanggung jawab sosial.